Kamis, 05 Desember 2013

Hubungan Perilaku Demo Dengan Pola Asuh

(Opini)

Dua hari ini blackberry saya mendapat serangan bertubi-tubi dari broadcasting demo dokter seluruh Indonesia. Pemberitaan di TV pun tidak mau kalah mengulang-ulang berita unjuk rasa para dokter. Dari siaran langsung di tempat demo, cuplikan sepintas kondisi di beberapa pelayanan kesehatan, sampai menghadirkan pengomentar pro dan kontra.

Jamaah facebook pun ikut ambil bagian. Dari membagikan tautan berita berimbang, hingga keprihatinan tindakan para ahli kesehatan ini. Seorang teman menuliskan, “Sangat disayangkan, kaum intelektual ikut turun ke jalan-jalan menyampaikan pendapatnya”.
Saya tidak tau persis, apa maksud dari “disayangkan” menurutnya.

Ada juga dari kalangan yang ingin diperhatikan, membuat opini tentang hak mereka untuk boleh berdemo. Sang pencetus opini sampai membanding-bandingkan dirinya dengan demo para buruh pabrik. Bukan hanya itu, proses menjadi profesi dokter pun dibandingkan dengan cara menjadi buruh di pabrik. Sudah barang tentu, jumlah nominal terkuras dari tabungan tidak luput di sana. Yang memprihatinkan saya, si peopini juga curhat nasib para ahli kesehatan ini tentang upah yang mereka terima.

Terlepas dari itu semua. Catatan ini tidak dalam koridor menfatwa tindakan—unjuk rasa—para dokter. Apakah tindakan mereka ini salah atau patut didukung. Akan tetapi, ada percikan pemikiran dalam diri saya, “Mengapa, hampir di semua lini untuk mendapat perhatian di negeri ini harus via demo?”.

Ya, harus lewat demo. Mengapa saya mengatakan harus? Karena berdasarkan fakta memang itulah adanya.

Lalu apa buktinya?

Mari kita mengulang sejarah sejenak. Masih ingat peristiwa 1998? Peristiwa reformasi di Indonesia. Kejadian itu seperti proses membuka lubang rahasia bawah tanah. Banyak simpanan di ruang itu. Simpanannya dari barang rongsokan hingga barang mewah.
Begitulah perumpamaan, kasus-kasus yang muncul setelah 1998.
Bagi saya pribadi, saya mengetahui istilah demo pun, ya karena kejadian itu. Baru setelah itu, saya mengenal demo produk di komunitas MLM dan salesman masuk desa.

Fakta lain menurut saya, kisah dua tokoh penegak Korupsi. Kedua pimpinan KPK Bapak Bibit waluyo dan Candra Hamzah. Beliau berdua lepas dari tangkapan polisi karena desakan demo masyarakat untuk melepaskan mereka.

Buruh berhasil mempengaruhi Jokowi setahun silam untuk menaikkan upah minimum. Seakan itu menjadi senjata agar keinginannya tercapai. Sehingga tahun ini melakukan hal serupa. Akan tetapi demo ini belum berhasil sebagaimana harapan pendemo.

Dan lazim kita dengar, “Kalau tuntutan kami tidak dengar, maka kami akan mengumpulkan masa lebih banyak lagi”. Para komando unjuk rasa dengan gagah berani beraksi di depan kamera. Sahutan bergemuruh pun terdengar “Ya...ye... yoo...”. Dukungan para masa di belakang komando. Seakan ini sudah menjadi senjata agar didengar.

Terbukti dari beberapa kasus lainnya. Suatu kebijakan dan keputusan terjadi setelah ada unjuk rasa. Entah karena pertimbangan atau karena keterdesakan. Baik terpublikasi media atau tidak.

Inilah yang menjadi pertanyaan saya, mengapa untuk mendapat perhatian itu melalui demo?

Suatu ketika saya merenung akan hal ini. Tiba-tiba saja ada ide jatuh dari langit dan mengenai kepala saya. Ide itu berbunyi keras sekali di telinga saya, “Keterampilan ini (demo) sudah mengakar dari sejak kecil”.

Maksudnya?

Mungkin hal ini juga jadi pertanyaan Anda. Sekarang, mari kita review sekali lagi memori masa kecil kita. Masih ingatkah Anda perilaku yang kita lakukan—saat kita kecil—untuk mendapat perhatian orang tua kita?

Teriak. Guling-guling di tanah. Melempar botol susu. Menendang pintu. Mungkin itu inisiatif Anda. Sementara saya dulu, kalau minta sesuatu sampai tiduran depan kandang ayam. Sekali waktu berhasil. Kalau ada keinginan dan orang tua tidak menuruti, maka saya melakukan hal serupa lagi.

Naasnya, malah cara itu membuat saya trauma. Alih-alih orang tua saya menuruti keinginan saya. Almarhum bapak saya malah mendorong saya masuk ke kandang ayam dan mengunci saya di sana. Ha..ha...ha...

Hemm, akhirnya saya mengerti. Rupanya demo- mendemo ini ada faktor pola asuh di sana. Artinya, pola mendapatkan perhatian lewat demo saat ini terjadi karena di masa kecilnya juga demikian. Bukankah kita berdemo kepada orang tua pada masa kecil juga karena hal serupa? Untuk mendapatkan perhatian.
Lalu apakah ada yang salah dengan demo?

Saya tidak terlalu menarik membahas sesuatu dari kacamata “benar atau salah”. Karena, menurut saya itu jarang menyelesaikan masalah. Faktanya, pembicaraan salah dan benar itu selalu jarang bisa mencegah agar tak terulang ke depannya.
Lantas apa?

Opini saya pribadi, saya dan Anda bisa mencegah perilaku—tindakan mendapatkan perhatian lewat demo—pada generasi akan datang dengan cara mengubah pola asuh kepada mereka di masa kecil.

Oh ya, sebijaknya kita sadari bersama, akar masalah dari demo selama ini biasanya lebih banyak terjadi karena kurang perhatian. Bukankah kita berdemo kepada orang tua pada masa kecil juga karena hal serupa?

Mari kita perhatikan tubuh. Bukankah setelah sakit baru memperhatikan pola makan? Kemudian memikirkan olah raga teratur? Tubuh sakit, itulah bentuk demonya agar mendapat perhatian dari kita.

Begitu juga dengan alam. Bukankah kita baru peduli setelah bencana terjadi? Itulah bentuk demo sang semesta.

Artinya, agar dapat mengubah pola ini bisa dengan dua cara. Pertama, sebagai orang tua lebih peduli dan memperhatikan. Lalu yang kedua, melatih komunikasi asertif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar