Kamis, 05 Desember 2013

“Berarti larangan memikirkan zat Tuhan itu hanya untuk umat Islam yang tolol.”


Meski tak terhitung banyaknya bagi saya larangan Tuhan dalam Alquran, tapi larangan yang paling mengerikan bagi saya adalah larangan memikirkan zat Tuhan. Tapi justru larangan itu pula yang paling membuat saya tertarik untuk melanggarnya.

Dengan perasaan berdebar debar
Saya kemudian melakukan perburuan kesana kemari mempertanyakan tentang zat Tuhan. Sampai akhirnya, saya bertemu dengan kenakalan berpikir Muktazillah. Bahkan sampai saya mengintip perdebatan seru antara Al Ghazali dengan Ibnu Rusyd tentang zat Tuhan dalam kedua buku mereka (Tahafut al Falasifah dan Tahafut at Tahafut).

Saya benar benar kaget
Kenapa seorang Al Ghazali, dan seorang Ibnu Rusyd,
Yang dikenal sebagai tokoh Islam fenomenal dalam sejarah Islam,
Justru begitu sadisnya mencincang segala hal yang terkait dengan zat Tuhan?

Dari situlah saya jadi bergumam:
“Berarti larangan memikirkan zat Tuhan itu hanya untuk umat Islam yang tolol.”

Maka karena tidak mau bertahan sebagai umat Islam yang tolol,
Akhirnya saya terus berlanjut memikirkan zat Tuhan.
Sampailah kemudian saya juga bertemu dengan Al Hallaj, Ibnu Arabi, dan Spinoza.
Bahkan lebih lanjut kemudian, saya juga berkenalan dengan para pembunuh Tuhan seperti Fuerbach, Marx, Nietzsche, Sartre, Freud, Russel, dan masih banyak lagi.

Akibatnya,
Saya jadi mengerti.
Ternyata Tuhan, akhirnya mati.
Maka sadarlah saya.
Itulah sebabnya Al Quran melarang umat Islam memikirkan zat Tuhan.
Karena jika zat Tuhan dipikirkan, maka Tuhan akhirnya akan mati.
Karena kekuatan Tuhan, terletak pada tidak mengkritik segala hal tentangNya.
Tapi adalah pada: Dibaca, lalu diaminkan.
Maka langsung selesai

Obat keras

Hubungan Perilaku Demo Dengan Pola Asuh

(Opini)

Dua hari ini blackberry saya mendapat serangan bertubi-tubi dari broadcasting demo dokter seluruh Indonesia. Pemberitaan di TV pun tidak mau kalah mengulang-ulang berita unjuk rasa para dokter. Dari siaran langsung di tempat demo, cuplikan sepintas kondisi di beberapa pelayanan kesehatan, sampai menghadirkan pengomentar pro dan kontra.

Jamaah facebook pun ikut ambil bagian. Dari membagikan tautan berita berimbang, hingga keprihatinan tindakan para ahli kesehatan ini. Seorang teman menuliskan, “Sangat disayangkan, kaum intelektual ikut turun ke jalan-jalan menyampaikan pendapatnya”.
Saya tidak tau persis, apa maksud dari “disayangkan” menurutnya.

Ada juga dari kalangan yang ingin diperhatikan, membuat opini tentang hak mereka untuk boleh berdemo. Sang pencetus opini sampai membanding-bandingkan dirinya dengan demo para buruh pabrik. Bukan hanya itu, proses menjadi profesi dokter pun dibandingkan dengan cara menjadi buruh di pabrik. Sudah barang tentu, jumlah nominal terkuras dari tabungan tidak luput di sana. Yang memprihatinkan saya, si peopini juga curhat nasib para ahli kesehatan ini tentang upah yang mereka terima.

Terlepas dari itu semua. Catatan ini tidak dalam koridor menfatwa tindakan—unjuk rasa—para dokter. Apakah tindakan mereka ini salah atau patut didukung. Akan tetapi, ada percikan pemikiran dalam diri saya, “Mengapa, hampir di semua lini untuk mendapat perhatian di negeri ini harus via demo?”.

Ya, harus lewat demo. Mengapa saya mengatakan harus? Karena berdasarkan fakta memang itulah adanya.

Lalu apa buktinya?

Mari kita mengulang sejarah sejenak. Masih ingat peristiwa 1998? Peristiwa reformasi di Indonesia. Kejadian itu seperti proses membuka lubang rahasia bawah tanah. Banyak simpanan di ruang itu. Simpanannya dari barang rongsokan hingga barang mewah.
Begitulah perumpamaan, kasus-kasus yang muncul setelah 1998.
Bagi saya pribadi, saya mengetahui istilah demo pun, ya karena kejadian itu. Baru setelah itu, saya mengenal demo produk di komunitas MLM dan salesman masuk desa.

Fakta lain menurut saya, kisah dua tokoh penegak Korupsi. Kedua pimpinan KPK Bapak Bibit waluyo dan Candra Hamzah. Beliau berdua lepas dari tangkapan polisi karena desakan demo masyarakat untuk melepaskan mereka.

Buruh berhasil mempengaruhi Jokowi setahun silam untuk menaikkan upah minimum. Seakan itu menjadi senjata agar keinginannya tercapai. Sehingga tahun ini melakukan hal serupa. Akan tetapi demo ini belum berhasil sebagaimana harapan pendemo.

Dan lazim kita dengar, “Kalau tuntutan kami tidak dengar, maka kami akan mengumpulkan masa lebih banyak lagi”. Para komando unjuk rasa dengan gagah berani beraksi di depan kamera. Sahutan bergemuruh pun terdengar “Ya...ye... yoo...”. Dukungan para masa di belakang komando. Seakan ini sudah menjadi senjata agar didengar.

Terbukti dari beberapa kasus lainnya. Suatu kebijakan dan keputusan terjadi setelah ada unjuk rasa. Entah karena pertimbangan atau karena keterdesakan. Baik terpublikasi media atau tidak.

Inilah yang menjadi pertanyaan saya, mengapa untuk mendapat perhatian itu melalui demo?

Suatu ketika saya merenung akan hal ini. Tiba-tiba saja ada ide jatuh dari langit dan mengenai kepala saya. Ide itu berbunyi keras sekali di telinga saya, “Keterampilan ini (demo) sudah mengakar dari sejak kecil”.

Maksudnya?

Mungkin hal ini juga jadi pertanyaan Anda. Sekarang, mari kita review sekali lagi memori masa kecil kita. Masih ingatkah Anda perilaku yang kita lakukan—saat kita kecil—untuk mendapat perhatian orang tua kita?

Teriak. Guling-guling di tanah. Melempar botol susu. Menendang pintu. Mungkin itu inisiatif Anda. Sementara saya dulu, kalau minta sesuatu sampai tiduran depan kandang ayam. Sekali waktu berhasil. Kalau ada keinginan dan orang tua tidak menuruti, maka saya melakukan hal serupa lagi.

Naasnya, malah cara itu membuat saya trauma. Alih-alih orang tua saya menuruti keinginan saya. Almarhum bapak saya malah mendorong saya masuk ke kandang ayam dan mengunci saya di sana. Ha..ha...ha...

Hemm, akhirnya saya mengerti. Rupanya demo- mendemo ini ada faktor pola asuh di sana. Artinya, pola mendapatkan perhatian lewat demo saat ini terjadi karena di masa kecilnya juga demikian. Bukankah kita berdemo kepada orang tua pada masa kecil juga karena hal serupa? Untuk mendapatkan perhatian.
Lalu apakah ada yang salah dengan demo?

Saya tidak terlalu menarik membahas sesuatu dari kacamata “benar atau salah”. Karena, menurut saya itu jarang menyelesaikan masalah. Faktanya, pembicaraan salah dan benar itu selalu jarang bisa mencegah agar tak terulang ke depannya.
Lantas apa?

Opini saya pribadi, saya dan Anda bisa mencegah perilaku—tindakan mendapatkan perhatian lewat demo—pada generasi akan datang dengan cara mengubah pola asuh kepada mereka di masa kecil.

Oh ya, sebijaknya kita sadari bersama, akar masalah dari demo selama ini biasanya lebih banyak terjadi karena kurang perhatian. Bukankah kita berdemo kepada orang tua pada masa kecil juga karena hal serupa?

Mari kita perhatikan tubuh. Bukankah setelah sakit baru memperhatikan pola makan? Kemudian memikirkan olah raga teratur? Tubuh sakit, itulah bentuk demonya agar mendapat perhatian dari kita.

Begitu juga dengan alam. Bukankah kita baru peduli setelah bencana terjadi? Itulah bentuk demo sang semesta.

Artinya, agar dapat mengubah pola ini bisa dengan dua cara. Pertama, sebagai orang tua lebih peduli dan memperhatikan. Lalu yang kedua, melatih komunikasi asertif.

Rabu, 27 November 2013

Cara Melacak Ciri Manusia Anti Kritik

Nyaris tidak ada manusia yang mengakui bahwa dirinya anti terhadap kritik.

Rata-rata semua mengaku siap menerima kritik.
Karena itu cara untuk mengetahuinya tidak bisa melalui pengakuan yang bersangkutan. Tapi mesti dilacak melalui sikap dan prilaku mereka.

Secara gamblang cirinya adalah:
Saat dikritik, nada suara dan susunan kalimatnya menjadi kacau.
Bicaranya mutar mutar. Sulit mengakui segala sesuatu yang sudah jelas
Dan selalu mengaburkan dan mengarak topik tanpa fokus.

Setelah itu usai,
Yang bersangkutan berubah sikapnya dalam hubungan pergaulan.
Dengan kata lain, kritik itu bagi mereka adalah gong permusuhan.
Bahkan sebagian dari mereka, dendam pada orang yang mengkritiknya.
Dan itu, lama sembuhnya. Bahkan bisa dibawa sampai mati.
Dengan kata lain, mereka begitu sulit untuk memaafkan.

Jika ketemu dengan orang yang demikian,
Bisikan di telinga mereka: “Anda manusia sampah sok mutu!”

Selasa, 26 November 2013

Diskusi tentang Kebanaran Itu Omong Kosong!

Diskusi tentang Kebanaran Itu Omong Kosong!

19 November 2013 pukul 9:38
Kadang saya muntah membaca dialog dialog tentang kebenaran
Karena rata rata peserta, kuper wawasan filsafat
Seakan kebenaran itu, seperti sebuah benda
Yang tinggal dipetik, lalu dielus kemana-mana
Padahal kenyataannya, kebenaran itu tidak ada.
Hanya sebuah konstruksi angan-angan yang disebut dengan permainan logika

Kapan ya mereka akan mengerti
Beginilah susahnya jika modal referensi hanya agama agama agama melulu
Coba sesekali baca Filsafat Postmodernisme
Mereka akan akan sadar,
Ternyata apa yang mereka pahami,
Hanya sampah yang sudah kadaluarsa
Jadul banget

Sampah postmodernisme adalah nilai-nilai lama.
Posmodernisme menawarkan
lokalitas yang terbaharu lewat keacakan penuh kejutan.
Pada kemasan yang menggugah verbalisme, logika kekinian,
dan semangat bermain-main yang dahsyat ia memamah biak, berduplikasi, dan menjadi simulakrum.

Nilai-nilai lama disimpan di gudang lembab, namun kemasannya dicat ulang dengan campuran-campuran yang mengejutkan.
Ada pesta estetika yang banal, menawarkan penafsiran baru yang setara.
Sekaligus membunuh paternaslime Nilai lama yang diragukan kebenarannya, karena penafsirannya sangat sepihak dan memperbudak semangat kreatif personal yg Keparat.

Aku larut di situ, sambil....kadang-kadang menyimak bungkusan nilai lama yang tertindih debu.
Bukan karena merindukan si tokoh,
tapi cuma kerinduan sebagai manusia sepi makna di hingar-bingar kekinian.

Posmodernisme memang Bangsat!

sekaligus nikmat......

Kilas Balik dari Muhammad Menuju Nietzsche

Kilas Balik dari Muhammad Menuju Nietzsche

20 November 2013 pukul 9:07
Sewaktu saya membaca Sejarah Hidup Muhammad karya Husein Haekal, saya sering menangis dari halaman ke halamannya. Terbayang kebersahajaan dan kemuliaan pribadi Muhammad. Lalu saat saya lanjutkan membaca riwayat 2 sahabatnya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab, dengan pengarang yang sama, lagi lagi saya juga  menangis. Seakan tak kan saya temui lagi pribadi yang menyentuh hati saya selain mereka.

Tapi tak lama kemudian saya juga membaca Kasyaful Mahjob Al Qusyairi. Begitu juga dengan Ihya Ulumuddin Al Ghazali. Semakin larut saya dalam tangis Cinta Illahiah. Terbayang betapa dalamnya akhlak para Sufi. Betapa heroiknya kecintaan mereka pada Allah. Seakan saya tak kan lepaskan lagi hidup zuhud di jalan Tuhan.

Namun beberapa tahun kemudian,
Saat saya baca riwayat kegilaan Nietzsche, malah saya terharu lebih dalam lagi. Begitu nyeri hati saya mengenang kedalaman renungan filosofisnya. Tuhan yang semula saya puja dan saya cintai dengan segenap jiwa raga, dia bunuh dengan gagah berani. Dan mayatNya, jatuh membasahi petualangan spiritual saya yang tak pernah padam. Maka praksis sejak saat itu, cara saya memandang segala sesuatu, berubah 1000 derjat dari sebelumnya. Saya mengutuk Nietzsche sejadi-jadinya. Kenapa saya menemukan kegilaannya disaat saya sudah terlanjur mencintai Tuhan hampir separuh usia.

Dan begitulah seterusnya ...
Semua, ternyata hanya proses yang tak pernah henti
Saya menggigil dari satu rumah ke rumah bathin lainnya
Dari satu atap suci ke atap metafisik lainnya
Sampai akhirnya saya sadar
Akan seksinya sabda gila Sang pembunuh Tuhan yang bernama Nietzsche:
Bahwa yang disebut Kebenaran, pada dasarnya hanya kumpulan kesalahan yang tertunda